Bayi Prematur Cenderung Ber-IQ Lebih Rendah

Bayi yang lahir beberapa minggu lebih awal cenderung mengalami kesulitan saat memasuki bangku sekolah. Anak yang lahir sebelum usia 37 minggu juga berpotensi mengalami masalah pertumbuhan dan kesehatan termasuk akademik.

Kehamilan penuh umumnya sepanjang 37 hingga 41 minggu. Sebuah penelitian menemukan, dibandingkan bayi yang lahir setelah 41 minggu, anak yang lahir sebelum usia 37 minggu 33 persen lebih tinggi mengalami kesulitan membaca saat berusia delapan tahun.

Studi yang sama juga menemukan, anak yang lahir sebelum usia hingga 38 minggu leih buruk hasilnya ketika mengerjakan tes matematika daripada anak yang lahir dua minggu kemudian.

Para peneliti dan ahli lainnya mengatakan, definisi prematur harus dipertimbangkan kembali. Penelitian juga mempertanyakan menjamurnya praktik mempercepat kelahiran dengan bedah caesar demi kenyamanan ibu yang merasa kelelahan dan kesakitan, bukan karena alasan medis.

“Wanita hamil harus hati-hati sebelum memilih kelahiran buah hatinya,” ujar kepala tim peneliti Dr. Kimberly Noble dari Columbia University Medical Center seperti dilansir Daily Mail.

Penelitian ini melibatkan 128 ribu anak di New York, termasuk anak-anak dari keluarga tidak mampu. Anak kelas tiga yang berusia delapan tahun dan lahir pada usia kehamilan 37 minggu, 2,3 persen memiliki kemampuan berbahasa yang lebih rendah–dibandingkan dengan hanya 0,9 persen untuk anak yang lahir pada usia 41 minggu.

“Hasil studi sangat penting dan memprediksi prestasi akademik anak di masa depan,” kata profesor dan sosiolog dari Michigan State University Naomi Breslau.

Studi juga menemukan, anak berusia enam tahun memiliki IQ dan berat tubuh yang lebih rendah bila lahir pada usia kehamilan 37 dan 38 minggu dibandingkan mereka yang lahir lebih berat pada usia 41 minggu.

Studi ini dipublikasikan Senin waktu setempat secara online di Pediatrics. (kd)

Agar Buah Hati Terhindar Konstipasi

 Memberikan air susu ibu (ASI) secara eksklusif tak hanya penting bagi tumbuh kembang bayi, tapi juga kesehatan saluran cerna. ASI berperan penting mencegah terjadinya konstipasi pada bayi.

Dr Sri Rukmaniah MSC. SpGK, Ketua Program Studi Doter Spesialis Gizi di Universitas Indonesia, mengatakan, ASI mengandung komponen bioaktif seperti probiotik (komponen bakteri baik), yang penting untuk menjaga kesehatan saluran cerna.

Memberikan ASI eksklusif selama enam bulan akan membuat sistem pencernaan terjaga dengan baik. “Fesesnya lebih lunak, frekuensi BAB sekitar 2-3 kali sehari, dan punya mikroflora usus yang cenderung baik,” terang dr Sri.

Berdasar penelitian Sinkiewics dan timnya pada 2008, ASI juga mengandung lactobacillus reuteri, salah satu komponen probiotik yang secara alami juga terdapat dalam pencernaan anak-anak. Penelitian lanjutan yang dilakukan Coccorullo dan tim pada 2010, menunjukkan manfaat lactobacillus reuteri menetralkan pencernaan dan mengatasi konstipasi.

Konstipasi tidak hanya terjadi pada orang dewasa, tapi juga bayi. “Lactobacillus reuteri yang terdapat pada ASI, akan memfermentasi karbohidrat laktosa yang tidak tercerna dalam usus besar, untuk menghasilkan suasana asam yang dapat membantu usus mengeluarkan feses.”

Saat bayi melewati usia enam bulan dan mulai mendapat makanan pendamping ASI (MPASI), biasanya rentan mengalami konstipasi akibat perubahan pola makan. MPASI akan menjadi masalah jika kurang serat alami dan air. Karena upayakan untuk memberikan MPASI yang mengandung cukup serat, air, dan probiotik itu sendiri.

Makanan apa saja yang baik untuk mencegah konstipasi pada bayi usia di atas enam bulan? Dr Sri mengatakan, bayi usia 6-8 bulan bisa diberi jus buah tanpa gula, puree wortel, puree pisang-strawberry, dan bubur susu.

Bayi usia 8-10 bulan, bisa diberikan makanan yang lebih padat, seperti pudding roti-apel, sereal, atau bubur sereal. Dan, saat usia 10-12 bulan, anak bisa mulai dikenalkan dengan makanan keluarga seperti mie dengan tauge,  cake, atau yogurt.

Trik Agar Si Kecil Antusias Mendengar Dongeng

Dalam beberapa tahun terakhir sepertinya dongeng sudah tidak menjadi idola bagi anak-anak Indonesia saat ini. Di balik kisah yang diceritakan oleh para ibu, dongeng memiliki beberapa manfaat bagi tumbuh kembang si kecil. Namun kenyataannya penyampaian dongeng juga tak bisa dilakukan dengan mudah, Anda harus memiliki tip agar dongeng dapat diterima dengan baik oleh si kecil.

Menurut seorang psikolog anak, Efnie Indrianie, M.Psi, mendongeng dapat diberikan pada anak usia efektif, yaitu anak berusia 0-7 tahun. Pada beberapa anak, terbilang sulit bahkan tidak suka untuk diberikan dongeng oleh orang tuanya, namun hal ini dapat diatasi jika Anda melakukannya dengan cara yang tepat.

Awam Prakoso salah satu pendongeng dan pendiri Kampoeng Dongeng ini, memberikan lima cara terkait dengan cara mendongeng yang mengasyikan untuk si buah hati.

1. Antusias

Tak hanya si anak yang memiliki antusias akan dongeng yang akan diterimanya, tapi ibu juga harus menunjukkan antusiasnya ketika sedang bercerita akan suatu kisah dongeng. Pada saat mendongeng ada baiknya jika si ibu menciptakan suasana pembuka yang akrab, agar anak merasa rileks.

2. Kontak mata

Media cerita yang akan didongengkan dapat diperoleh dari mana saja, misalnya dari buku cerita atau pengalaman hidup sehari-hari, contohnya lingkungan. Maka, ketika Anda menjadikan buku sebagai medianya cobalah untuk tidak terlalu fokus pada buku tesebut. Lakukan kontak mata dengan si kecil, agar merasa nyaman dan membuat si kecil tetap antusias kepada ceritanya.

3. Timing tepat

“Dongeng yang tepat dilakukan adalah setelah jam makan malam. Ini adalah quality timeantara ibu dan anak,” tambah Efnie. Oleh karena itu, ketika Anda memberikan dongeng kepada si kecil dilakukan pada waktu yang sama dan dengan intensitas yang baik.

4. Partisipasi

Memberikan dongeng sebenarnya adalah komunikasi dua arah. Tak hanya ibu yang memberikan informasi, tapi anak juga harus terlibat bukan hanya sebagai pendengar. Ini dapat dilakukan dengan meningkatkan partisipasi si kecil, dengan memberikan pertanyaan seputar dongeng. Contohnya, “kira-kira ayam ini diberi nama siapa, ya, nak? (sambil menunjuk ke buku cerita).

5. Minat anak

Anda tidak dapat memberikan sembarangan cerita pada si buah hati. Anda harus dapat menyesuaikan dongeng dengan minat anak. Kebanyakan anak-anak akan melakukan sesuatu karena dia menyukainya. Begitu pula dengan cerita. Ia akan tertarik ketika dirinya mulai menyukai hal yang dianggapnya menarik.

Cara Didik Anak Jadi Pribadi Berkualitas

Tak dapat dipungkiri, globalisasi membedakan tantangan yang dihadapi antara generasi orang tua dan anak. Menjadi tantangan sendiri bagi orang tua masa kini untuk mampu mempersiapkan pribadi anak yang tangguh agar dapat bertahan dan bersaing.

Menurut Ratih Ibrahim MM.Psikolog, peran penting orang tua dimulai sejak anak berusia di bawah lima tahun (golden age period) dan saat anak mulai memasuki jenjang pendidikan dasar. Karena, periode tersebut adalah saat yang tepat untuk menanamkan nilai-nilai agar anak menjadi anak yang siap hidup (life ready) di masa depan.

Kualitas didikan apa yang diperlukan generasi muda saat ini agar dapat bertahan di masa depan? Pada prinsipnya, menurut Ratih dalam pernyataan tertulis yang diterima VIVAnews, Selasa, 15 Mei 2012, anak perlu dibantu agar memiliki kompetensi individual dan sosial.

Kompetensi individual antara lain memiliki pertumbuhan fisik optimal, menunjukkan perkembangan kognitif yang signifikan, serta mengembangkan kecerdasan emosi dan interpersonal.

Sementara itu, kompetensi sosial, yaitu anak diharuskan memiliki kecerdasan sosial agar mampu beradaptasi dengan lingkungan dan kelompok, mampu menjalin hubungan yang dilandasi keintiman emosional juga ditunjang nutrisi dengan gizi seimbang.

Ada beberapa hal penting untuk mempersiapkan buah hati, antara lain:

1. Membimbing dan mengajarkan anak tentang cara bergaul yang tepat bagaimana interaksi, bermain, dan bersikap sopan santun.

Orang tua juga dapat membantu dan mendorong kemampuan anak dalam bergaul seperti mengundang beberapa teman sebaya anak untuk bermain di rumah.

2. Memberi contoh positif kepada anak dalam hal bertingkah laku.

3. Membantu proses masa agresif anak dengan mengajak anak berbicara dengan bahasa yang mudah ia mengerti tentang dampak sikap agresif bagi anak lainnya.

4. Sedari dini membangun respons yang positif dan dapat diandalkan anak, agar ia tumbuh sebagai anak yang memiliki talenta yang aman.

5. Mengajari anak cara mengatur penggunaan gadget di dalam kehidupannya secara lebih sehat dan tidak berlebihan.

6. Mengajarkan anak sejak usia dini agar fokus pada tujuan utama hidup dan menetapkan prioritas.

Hal ini antara lain dengan menerapkan pengaturan waktu di kesehariannya, serta tetap membangun relasi nyata dengan orang lain.

Mengungkap Mimpi Bayi Saat Tidur

Mungkin Anda sering memperhatikan saat bayi sedang terlelap. Kira-kira si kecil memimpikan apa ya?  Pertanyaan ini sering kali melintas. Sayangnya, sangat sedikit penelitian ilmiah mengenai hal tersebut,  mengingat bayi belum dapat berkomunikasi.

“Kita tahu bahwa bayi juga mengalami tidur REM, tingkatan tidur yang
selalu dihubungkan dengan munculnya mimpi. Kita dapat mengansumsikan kalau bayi memimpikan pengalaman mereka sehari-hari,” ujar Dr. Edward Kulich, dokter anak spesialisasi kebiasaan tidur anak dan penulis The Best Baby Sleep Book.

Menurutnya, aktivitasnya sehari-hari bisa jadi menjadi objek mimpi
mereka. “Makan, mencium, merasa hangat dan nyaman, hingga bermimpi lapar, bosan, atau bau lingkungan mereka,” ujarnya dikutip Shine.

Tak hanya itu, sumber mimpi mereka juga bisa merupakan orang-orang
terdekat mereka seperti ayah atau ibunya. Menurut Dr. Alan Greene, yang juga dokter spesialis anak, mimpi bayi dipenuhi oleh persepsinya tentang ibu dan ayahnya.

Sama seperti orang dewasa pada umumnya, bayi juga mengalami mimpi yang menyenangkan dan mimpi buruk.

“Bayi juga bisa stres karena rasa sakit, lapar, dan merasa ditinggal
sendirian. Dan hal lainnya yang pantas untuk ditangisi,” ujar Greene.

Beberapa peneliti percaya bahwa mimpi buruk biasa terjadi pada anak usia 2 tahun. Tapi, Greene juga mengungkapkan, bahwa pada 6 minggu pertama merupakan usia puncak bayi mengalami mimpi buruk.

“Saat 6 minggu pertama, bayi akan sering menangis saat tidur karena mengalami mimpi buruk.”

Namun, kebanyakan ahli menyatakan bahwa tidak ada cara untuk
mengetahui dengan pasti, apa yang dimimpikan bayi karena mereka belum bisa mengekspresikan diri.

Isomaltulosa,Berikan Asupan Energi Lebih Lama

Masa golden years adalah masa penting dimana perkembangan otak seorang anak berjalan sangat pesat. Otak balita tumbuh sampai dengan 90 persen ukuran otak orang dewasa.

Selain itu ada fakta baru yang orang tua perlu tahu. Rata-rata berat otak anak usia anak 1-6 tahun adalah kurang dari 10 persen berat tubuh mereka, namun kebutuhan energinya lebih dari 40 persen total energi tubuh. Namun sayang, otak anak tidak dapat menyimpan energi walau otaknya harus selalu aktif, bahkan ketika sang buah hati sedang tidur.

Isomaltulosa adalah sejenis karbohidrat yang diketahui dapat memberikan energi lebih lama dan konstan dibandingkan terhadap sukrosa. Isomaltulosa dapat ditemukan secara alami pada madu dan tebu. Penggunaan isomaltulosa sudah disetujui oleh otoritas kesehatan di lebih dari 40 negara di dunia, termasuk Indonesia.

Manfaat isomaltulosa dalam susu pertumbuhan telah diuji klinis oleh FrieslandCampina (induk perusahaan Frisian Flag Indonesia) dengan Fakultas Kedokteran salah satu universitas terkemuka di Indonesia.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 54 orang anak-anak usia 5-6 tahun yang mengkonsumsi susu pertumbuhan yang mengandung Isomaltulosa, vitamin, dan mineral tertentu memiliki konsentrasi dan daya ingat yang lebih baik dibandingkan mereka yang mengkonsumsi produk tanpa Isomaltulosa. Konsentrasi dan daya ingat yang lebih baik dapat membantu anak-anak untuk belajar lebih optimal.

Berdasarkan hasil uji klinis ini, Frisian Flag mengeluarkan inovasi terbaru, Frisian Flag 123/456 dengan isomaltulosa, yang dapat memberikan asupan energi lebih lama. Ingin tahu lebih lanjut seputar Isomaltulosa? Simak apa kata sang ahli pada tautan berikut ini .

Mengetik Membuat Anak Menjadi Lebih Bodoh?

Anak-anak dan pelajar yang menulis dengan tangan ternyata lebih cepat belajar daripada anak-anak yang mengetik di komputer.

Hal itu terungkap dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Profesor Anne Mangen dari Stavanger University Norwegia dan Jean-Luc Velay dari Marseille University, yang dipublikasikan pada Advances in Haptics journal.

Riset tersebut membagi dua kelompok, yaitu kelompok yang menulis tangan dan kelompok yang mengetik di atas komputer. Ternyata hasil anak-anak yang menulis tangan lebih baik daripada anak-anak yang mengetik.

Sebab, saat membaca dan menulis, anak-anak melibatkan berbagai indera. Untuk mengenali huruf-huruf, seseorang akan melibatkan bagian otak yang bernama sensorimotor.

Karena menulis dengan tangan membutuhkan waktu yang lebih lama daripada mengetik di keyboard, maka terdapat bagian pada otak yang terlibat dengan bahasa, yang akan mempengaruhi proses belajar seseorang.

Hal ini tidak dijumpai bila seseorang hanya mengetik pada papan kunci (keyboard), sehingga anak-anak tidak mengalami pengalaman yang mendukung mekanisme pemahaman yang sama dengan ketika ia menulis.

Ini mirip dengan hasil sebuah riset terhadap sebuah bagian otak yang berhubungan dengan aktivitas berbicara, di mana bagian otak itu akan lebih aktif bila seseorang mendengar sebuah kata kerja yang terkait dengan kegiatan fisik ketimbang saat mendengar kata kerja yang lebih abstrak.

Lima Hal Haram Dikatakan pada Anak

Komunikasi adalah bagian dari pendidikan dan pengajaran yang diberikan orangtua kepada buah hati. Ucapan yang Anda katakan pada anak dapat mendorong mereka melakukan apa yang Anda inginkan.

Namun, lebih dari itu, ucapan orangtua berdampak langsung pada perkembangan mental anak di kemudian hari dan hubungan Anda dengan anak. Seringkali saat frustasi dengan ulah anak, orangtua mengeluarkan perkataan yang “merusak”.

“Kata-kata bisa melukai dan tidak dapat ditarik kembali. Jadi, berhati-hatilah,” saran seorang terapis dan penulis “The Calm Parent: AM & PM” Debbie Pincus. Berikut lima hal yang kerap diucapkan orangtua yang bisa menimbulkan efek negatif terhadap anak, seperti dikutip dari Shine.

“Saya Tidak Peduli”

Anak-anak kecil suka dengan rincian: percakapan dengan teman bermain, menggambarkan apa yang mereka pikir atau temuan di sekeliling meskipun terdengar sangat aneh dalam pandangan orangtua.

Meski kadang orangtua terlalu sibuk atau tak peduli, berhati-hati agar tak mengucapkan, “Saya tak peduli!”. Ini hanya akan memutuskan komunikasi dengan anak, dan anak akan merasa dia tidak begitu penting di mata orang tuanya.

“Banyak orangtua mengeluhkan komunikasi pada anak yang beranjak remaja. Sebenarnya proses komunikasi orangtua-anak harus berkembang secara positif selama bertahun-tahun sehingga agar tercipta kepercayaan tak tertulis saat komunikasi,” ujarnya.

Untuk itu, saat berbicara dengan buah hati, fokuslah. Jangan menyambinya dengan hal lain. “Jangan sampai dalam sehari tak ada saling berbagi dengan anak.”

“Bersikaplah Seperti Usiamu!”

Anak Anda berusia tujuh tahun, namun Anda menilai dia berkelakuan seperti anak usia balita. Dan, Anda mengatakannya. Pincus mengatakan, reaksi ini adalah orangtua yang tak memahami perilaku anak dan berusaha mengatasi frustasi.

“Anak berpikir telah melakukan hal sesuai usia mereka, namun tidak dimengerti orangtua,” ujar Pincus. Hasilnya, ucapan ini hanya membuat anak merasa selalu dikritik saat mereka seharusnya mendapat bantuan untuk mengendalikan diri.

Pincus menyarankan, bila merasa kesal, ambil jeda beberapa saat dan berikan tanggapan efektif, bukannya reaksi spontan yang penuh adrenalin. Sehingga Anda bisa bereaksi dengan otak, bukan sisi emosional.

“Ayo, Minta Maaf!”

Anak prasekolah yang mengambil mainan dari temannya bisa membuat temannya menangis. Membujuknya minta maaf mungkin menurut Anda cara untuk menunjukkan budi. “Tapi memaksa seorang anak untuk meminta maaf tidak mengajarkan anak keterampilan sosial,” kata Bill Corbett, seorang pendidik.

Anak tidak secara otomatis memahami mengapa mereka harus meminta maaf, dan jika orangtua memaksa bisa membuat mereka ogah melakukannya. Agar anak memahami arti maaf, jangan segan meminta maaf kepada buah hati bila melakukan kesalahan. Ini adalah model tepat agar anak mau mengaku salah dan meminta maaf. Dijamin, Anda akan melihat hasilnya.

“Apakah Kamu Sudah Mengerti?”

Anda telah mengajarkan sebuah keterampilan atau cara mengerjakan soal. Namun, saat menunjukkan tanda-tanda mereka belum mengerti, Anda buru-buru bertanya “Sudah mengerti?”.

Menurut Jill Lauren, pakar anak, pertanyaan ini bersifat merendahkan. “Jika anak mengerti mereka akan melakukannya untuk menyenangkan orang tua.”

Namun, ucapan Anda merupakan penghakiman yang membuat anak merasa tak berguna. Sebagai gantinya, lebih baik mengambil istirahat sebelum memulai lagi, atau cari pendekatan lain untuk mengajarinya.

“Ibu/Ayah akan Meninggalkanmu”

Jika anak menolak meninggalkan toko mainan atau taman, seringkali orangtua mengucap ultimatum tersebut. Bagi anak usia muda, ditinggalkan adalah sesuatu yang menakutkan. Tapi, bagaimana jika ancaman ini tak berarti bagi mereka?

“Masalah terbesar orangtua adalah ingin anak mereka memercayai mereka, padahal orangtua jelas-jelas berbohong,” ujar pakar keluarga Deborah Gilboa.

Bila terjadi terus menerus, anak akan mengetahui bahwa orangtua hanya mengancam. “Anda harus berusaha untuk tak mengancam. Jika mengatakanya, Anda harus melakukannya.”

Gilboa menyarankan, jangan pernah mengungkap bahwa Anda akan meninggalkan anak. Sebaliknya, lihat apakah yang menyebabkan perilaku mereka. Bila mereka tetap menolak, “Katakan pada anak bahwa perilaku itu tak dapat diterima dan orangtua harus memotivasi anak dengan konsekuensi yang dapat Anda lakukan.”

Dibandingkan Mainan, Anak Lebih Suka Hewan

Manusia memiliki hubungan alamiah dengan satwa liar, bahkan ketertarikan dengan hewan sudah dimulai sejak dini. Faktanya, anak pun ternyata lebih memilih bermain dengan hewan ketimbang dengan boneka dan mainan mereka.

Hal tersebut merupakan hasil penelitian tim dari Rutgers University dan University of Virginia, Amerika Serikat. Mereka melakukan beberapa eksperimen yang melibatkan anak-anak berusia antara 11 bulan sampai tiga tahun.

Pertama-tama, anak-anak diberikan hamster dalam sangkar dan ikan dalam tangki bersama dengan 14 mainan kecil termasuk mobil polisi, boneka dan blok. Mereka diamati bersama orangtuanya di dalam ruangan.

Lalu, anak-anak diberikan empat mainan yang paling populer, boneka, pesawat terbang, hamster, ikan, tarantula, dan ular California Mountain King. Semua hewan dikurung dan anak-anak tidak bisa menyentuhnya.

Pada percobaan ketiga, anak-anak dimasukkan ke dalam sebuah ruangan dengan tiga hewan hidup. Seperti tokek hijau, hamster, dan ikan, serta replika mainan hewan. Dalam ketiga eksperimen tersebut, anak-anak lebih sering berinteraksi dan membicarakan hewan daripada mainan.

“Fakta bahwa anak-anak menganggap hewan begitu menarik menunjukkan bahwa mereka dapat mengambil manfaat dari memiliki hewan peliharaan,” kata salah satu peneliti, Vanessa LoBue, dikutip dari Telegraph.

Menurut LoBue, hewan dapat menjadi instrumen yang baik untuk belajar. Meluasnya penggunaan karakter hewan di buku anak-anak dan program televisi memang dapat menjadi cara untuk mendekatkan anak kepada hewan. Namun LoBue menyarankan untuk memperkenalkan hewan secara langsung.

“Jika Anda mencoba untuk mengajarkan buah hati sesuatu tentang biologi, mereka mungkin lebih tertarik jika dijelaskan menggunakan hewan secara langsung, bukan buku,” ujarnya.

Cegah Stres pada Anak

Stres tidak hanya menimpa orang dewasa, namun anak-anak usia bawah lima tahun (Balita) dapat mengalaminya, bahkan 4 dari 5 anak terindikasi mengalami stres.

Akibat begitu banyak perubahan yang terjadi dari berbagai aspek kehidupan yang begitu cepat di era globalisasi dengan teknologi serba canggih saat ini, sehingga menyebabkan para orang tua dan anak dituntut mampu mengikuti semua perubahan tersebut.

Sebagai orang tua tentu ingin agar anaknya menjadi orang yang berhasil di masa depan dan mampu menjawab tantangan jaman. Alih-alih bermaksud membangun karakter anak, orangtua justru semakin obsesif dan pada akhirnya justru membuat anak tersebut mengalami stres.

“Anak-anak yang stres ini terlihat secara fisik, emosi, psikologis juga sosial. Tanda-tandanya antara lain adalah rewel, mudah tersinggung, pemarah, kehilangan minat, percaya diri luntur, menunjukkan sikap gelisah,uring-uringan, bahkan ada yang menarik diri dari pertemanan,” ujar Direktur Personal Growth Dra. Ratih Ibrahim MM.Psikolog.

Pola asuh orangtua (parenting style) yang  kurang tepat menjadi salah satu penyebab anak mengalami stres. Dimana orangtua  bersikap otoriter, kurang demokratis, atau memaksa anak agar memenuhi tuntutan orangtua bahkan hingga menganiaya anaknya.

Faktor lain yang juga menyebabkan stres adalah tekanan sosial dan lingkungan (social pressure), termasuk cara stimulasi orangtua yang keliru yaitu jangan menetapkan target yang tidak dapat dicapai oleh anak. Dalam hal ini sebagai orangtua yang baik harus dapat mengenal betul daya serap anaknya, jangan sampai membuat anak stres karena ketidaktahuan orangtua.

Guna menghindari stres pada anak agar menjadi generasi tangguh, diperlukan engagementdalam keluarga. Karena peran keluarga sangat penting untuk menciptakan generasi yang sehat dan kuat.

Sebagai manusia yang belum berpengalaman dengan kapasitas otak yang belum optimal, seorang anak tidak memiliki kemampuan untuk mencari solusi dari stres yang dideritanya. Maka peran orangtua untuk dapat mengatasi kesulitannya sangat diperlukan agar stres yang dialaminya tidak berkepanjangan.

Selain itu asupan gizi yang seimbang agar anak tumbuh sehat maka kemampuan berpikir juga akan lebih baik. Karena anak mudah menyerap apa yang diajarkan, lebih lincah, suasana hati baik sehingga lebih tangguh, maka dapat dijauhkan dari stres.

Oleh karenanya guna meminimalkan tekanan pada anak, orangtua sebaiknya lebih memahami buah hatinya, tidak menuntut anak untuk sama dengan teman-temannya. Memberikan pengertian serta meyakinkan anak, bahwa dia juga mempunyai kelebihan di bidang lain. Sebagai coontoh jika seorang anak tidak jago matematika, namun pintar main piano., maka hal semacam inilah yang harus diangkat agar kepercayaan diri sang anak muncul.

Di bawah ini adalah beberapa hal yang harus diperhatikan oleh orangtua agar anak tidak stres:
1.    Perbaiki pola asuh orangtua.
2.    Beri keleluasan kepada anak dalam menentukkan sesuatu.
3.    Buatlah komunikasi dua arah yang terbuka antara orangtua dan anak.
4.    Tidak perlu menuntut yang berlebihan kepada anak.
5.    Mulailah menciptakan sebuah keluarga yang harmonis dan nyaman bagi anak untuk bertumbuh kembang.
6.    Ajarkan anak menjadi pribadi yang mandiri dan tangguh.
7.    Berikan asupan gizi yang seimbang serta istirahat yang cukup bagi anak.

Dengan perhatian dan kasih sayang dari orangtua tertutama yang dibutuhkan anak tentu dapat membantu anak terhindar dari stres. Maka, terus dukung, latih dan asuh anak-anak agar dapat menikmati hari-harinya dengan ceria.

TV Mengurangi Ketrampilan Bahasa Anak

Menempatkan televisi di dalam jarak yang dekat dengan pendengaran anak-anak atau bayi Anda kemungkinan akan merintangi perkembangan bahasa percakapan dan interaksi antaranak dan orangtua.

Sebuah penelitian menunjukkan setiap jam, waktu anak-anak bisa dihabiskan mendengarkan televisi dan sedikit sekali mendengarkan kata-kata yang diucapkan orangtuanya, sehingga minim terbentuknya kosakata yang dikeluarkan anak dalam merespon.

“Hal itu terjadi beberapa kemungkinannya akibat anak-anak dibiarkan sendiri di depan layar televisi, atau bisa saja mencerminkan kebiasaan orang dewasa yang saat menonton televisi tidak berinteraksi dengan bayi atau anak mereka,” tulis Dimitri A Chirstakis, peneliti dari Universitas Washington dan konsultan di Archives of Pediatrics & Adolescent Medicine seperti dilansir WebMD Health News, Minggu, 21 Juni 2009.

Selain itu, kata dia, 30 persen rumah tangga diketahui selalu mengisi waktunya dengan televisi dan terdapat bukti dari pertanyaan yang disodorkan bahwa sedikit peluang terjadinya percakapan antara orang tua dan anak.

Memberi Anak Permen Membentuk Budaya Suap?

Kesukaan seseorang pada permen saat masih kecil, ternyata membawanya pada kecenderungan melakukan tindak kriminal. Hal tersebut menurut penelitian yang dilakukan oleh tim dari Cardiff University, Inggris.

Tim peneliti menyelidiki kebiasaan 17.500 orang yang lahir pada 1970. Dari hasil penelitian, diketahui 69 persen dari 17.500 responden ternyata mengkonsumsi permen hampir setiap hari, saat mereka kecil.

Tim riset berkesimpulan, orang-orang yang mengkonsumsi permen hampir setiap hari di saat kecil, memiliki kecenderungan melakukan tindak kriminal sepuluh kali lebih besar dibandingkan orang yang jarang mengounsumsi permen. Dan, tindak kriminal tersebut juga cenderung dilakukan saat mereka berumur 34 tahun.

Sebenarnya, bukan permen yang membuat orang memiliki kecenderungan melakukan tindak kriminal. Melainkan, melainkan kebiasaan mereka “dibayar” permen, bila bersikap baik. Hal ini membuat anak-anak belajar “disuap” dan “menyuap”.

Ketika dewasa, mereka akan menganggap sikap “baik” harus selalu diberi imbalan. Oleh karenanya, mereka juga memiliki kecenderungan memiliki kepribadian yang suka
memaksa, jika tidak diberikan imbalan atas sikap baik yang sudah dilakukan.

“Menggunakan permen sebagai imbalan atas sikap baik anak-anak berisiko membuat sikap mereka saat dewasa cenderung impulsif,” kata Jeff Kart, salah satu peneliti, dari Cardiff University seperti vivanews kutip dari Care2.com.

Tindak kriminal berupa penyuapan, bisa dipicu karena terbentuknya pemikiran, bahwa segala sesuatu yang baik harus “dibalas” dan diminta balasannya. Maka, sikap baik yang dilakukan pun bukan karena hati nurani, melainkan karena mengharap “balasan”.

Oleh karenanya, hati-hatilah bila saat ini anak Anda giginya sudah gripis akibat sering diberi permen karena bersikap baik. Bisa-bisa, mereka akan diproses oleh KPK bila dewasa kelak.

Otak Anak Tak Pernah Tidur

Tahukah Anda, di masa golden years(usia 1-3 tahun) otak seorang anak terus bekerja, bahkan ketika sedang tidur di malam hari. Ketika sedang tidur, otak anak tengah memproses dan mengatur ulang kenangan serta pengalaman untuk digunakan pada waktu tertentu serta mempersiapkan sel tubuh mereka untuk kegiatan hari berikutnya.

Itulah alasan mengapa aktivitas tidur memiliki peranan sangat penting bagi perkembangan otak seorang anak khususnya anak usia 1-3 tahun.

Selama 3 tahun pertama usianya, otak mereka akan berkembang sangat menakjubkan yaitu sebesar lebih dari 70 persen dari maksimum kapasitas sel otaknya. Pada masa ini, perkembangan otak beserta sel-sel tubuh anak akan tumbuh cepat di seluruh bagian.

Ada sekitar 10 miliar neuron (sel syaraf) di otaknya, sehingga tiga tahun pertamanya sejak lahir merupakan periode di mana miliaran sel otak akan terus bertambah.

Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa berat otak anak usia 1-6 tahun adalah kurang dari 10 persen dari berat tubuhnya. Namun, membutuhkan 40 persen total energi dari tubuh mereka, sehingga otak seorang anak memiliki kebutuhan energi berbeda dari organ tubuh lainnya.

Menyediakan energi bagi otak anak adalah dengan memastikan asupan gizi dan nutrisi yang cukup agar otak mereka bisa bekerja secara optimal. Dengan  energi yang mencukupi setiap harinya, kemampuan emosi serta kecerdasan otak seorang anak pun dapat terus tumbuh dan berkembang secara sempurna.

Lalu, sebagai orang tua yang bijak, prioritas utama dalam membesarkan seorang anak adalah dengan tetap terus menjaga perkembangannya melalui asupan energi yang baik.

Ingin tahu lebih lanjut tentang energi apa yang dibutuhkan bagi perkembangan otak seorang anak? Kami ajak Anda untuk menggali ilmu lewat Brain quiz di sini.

Selain bisa mendapatkan ilmu seputar otak anak, Anda bisa mendapatkan beragam hadiah menarik setiap pekannya. Jadi, tunggu apalagi, ikuti dan dapatkan keduanya ya?